28 Oktober 1928 adalah saksi sejarah atas lahirnya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa yang disepakati oleh pemuda-pemuda Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dalam forum Sumpah Pemuda. Bahasa Indonesia merupakan identitas diri bangsa sekaligus menjadi bahasa resmi Republik Indonesia yang diresmikan tepat sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Bahasa Indonesia diucapkan oleh lebih dari 250 juta penduduk di dunia yang terpusat di Indonesia. Uniknya, bahasa ini digunakan sebagai bahasa kedua oleh mayoritas penduduk Indonesia sebab sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu. Masyarakat Indonesia berada pada keadaan diglosia, yakni keadaan seseorang setidaknya menggunakan dua bahasa dalam bergaul di lingkungan masyarakat. Kondisi demikian menjadikan bahasa Indonesia sebagai jembatan bagi ratusan juta penduduk Indonesia dari berbagai macam suku bangsa untuk saling berkomunikasi.
Menurut perspektif linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu ragam bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia yang digunakan sebagai lingua franca di nusantara yang kemungkinan sudah ada sejak awal abad penanggalan modern. Dasar bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu Riau pada abad ke-19. Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia mengalami perubahan akibat penggunaannya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Proses ini menyebabkan terciptanya perbedaan bahasa Indonesia dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau dan Semenanjung Malaya. Oleh karena itu, pada saat pencanangan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, diberikan penamaan bahasa Indonesia pada bahasa yang digunakan untuk menghindari kesan “Imperialisme Bahasa Melayu”. Hingga saat ini, bahasa Indonesia merupakan bahasa hidup yang terus menghasilkan kosakata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan bahasa lokal dan bahasa asing.
Bahasa Indonesia memiliki lima fungsi bahasa.
1. Bahasa Indonesia sebagai fungsi ekspresif.
Alat mengungkapkan gambaran, maksud, gagasan, dan perasaan.
2. Bahasa Indonesia sebagai fungsi komunikasi.
Alat interaksi atau hubungan antara dua individu atau lebih sehingga pesan dapat tersampaikan dengan baik.
3. Bahasa Indonesia sebagai fungsi kontrol sosial.
Media mengatur atau mengontrol masyarakat dalam bertingkah laku.
4. Bahasa Indonesia sebagai fungsi adaptasi.
Alat beradaptasi dengan lingkungan baru, khususnya dalam berkomunikasi.
5. Bahasa Indonesia sebagai fungsi integrasi.
Media mempersatukan seluruh masyarakat Indonesia yang ada di seluruh pelosok negeri.
Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional diikrarkan pada 28 Oktober 1928, yaitu pada hari Sumpah Pemuda dengan fungsi-fungsi, sebagai berikut:
1. Lambang identitas nasional;
2. Lambang kebanggan kebangsaan;
3. Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi;
4. Alat pemersatu bangsa dalam keanekaragaman Suku, Agama, Ras, Adat istiadat dan Budaya.
Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional yang diselenggarakan di Jakarta pada 25-28 Februari 1975 menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai berikut:
1. Bahasa resmi kenegaraan;
2. Alat pengantar dalam dunia pendidikan;
3. Penghubung pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah;
4. Pengembangan kebudayaan nasional, ilmu, dan teknologi.
Imperialisme Bahasa Inggris
Pada era globalisasi, bahasa Inggris tengah menginvasi dunia sebagai bahasa Internasional. Hegemoni bahasa Inggris mulai mendunia sejak pecahnya Perang Dunia II . Perang Dunia II yang berlangsung pada 1939–1945 itu dimenangkan oleh negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai media komunikasi. Perang Dunia II merupakan awal penyebaran bahasa Inggris dalam lingkup internasional dengan menekan bahasa-bahasa lain seperti bahasa Jerman, bahasa Latin, dan bahasa Yunani. Para pemimpin negara-negara Eropa khawatir akan punahnya bahasa mereka akibat tekanan dari bahasa Inggris. Dalam rangka menjaga eksistensi bahasa, mereka memutuskan untuk melakukan penyebaran bahasa. Walaupun secara perlahan bahasa Inggris menjadi bahasa internasional resmi dunia mengiringi globalisasi namun negara-negara tersebut secara agresif terus berusaha untuk melestarikan dan mempromosikan bahasa serta kebudayaan mereka dengan membentuk dan membangun pusat-pusat kebudayaan di negara lain, seperti Perancis dengan Centre Cultural de France dan Jerman dengan Goethe Institute.
Bahasa Inggris sudah menjadi bahasa kaum elite di banyak negara berkembang dan cenderung berkaitan dengan stratifikasi sosial dalam masyarakat. Di banyak negara, bahasa Inggris dapat diakses dengan lebih mudah oleh orang-orang dari kalangan terdidik dan mampu secara finansial. Bahkan, pengetahuan bahasa Inggris sudah menjadi sarana untuk mengakses sumber daya yang berharga dan posisi-posisi bergengsi.
Di Indonesia, bahasa Inggris menunjukkan indikasi peningkatan pemakaian yang sangat kuat. Walaupun bahasa Indonesia berhasil mengukuhkan posisinya sebagai bahasa nasional dan menjadi lingua franca serta dikhawatirkan menggeser kedudukan bahasa daerah, penggunaan bahasa Inggris semakin mapan dengan dukungan sektor pendidikan formal. Bahasa Inggris diajarkan secara resmi sebagai bahasa asing di tingkat sekolah pertama dan umum (6 tahun).
Di banyak kota dan daerah, bahasa Inggris bahkan dajarkan sejak sekolah dasar dan taman kanak-kanak. Fenomena yang muncul akhir-akhir ini adalah beberapa sekolah unggulan di Jakarta dan Surabaya menjanjikan kurikulum nasional plus atau semi-internasional melalui penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.
Dalam sektor ekonomi, bahasa Inggris digunakan sebagai sarana pemasaran dan pemisah antar kelas sosio ekonomi. Produk yang ditargetkan untuk dikonsumsi orang-orang dari kalangan sosio ekonomi menengah dan atas, dipasarkan melalui iklan-iklan berbahasa Inggris atau campuran bahasa Inggris dan Indonesia. Bahkan, kadangkala barang atau jasa untuk kalangan menengah dan atas itu juga diberi nama dari bahasa Inggris.
Segmentasi pasar yang dilakukan oleh suatu perusahaan juga dilakukan melalui penggunaan bahasa Inggris. Misalnya, suatu perusahaan perumahan memberi nama Regency, Westwood, dan sejenisnya untuk rumah-rumah mewah dan nama-nama Graha Asri, Puri Indah untuk tipe 70 ke bawah. Kompleks yang ditargetkan untuk kalangan menengah dan atas disebut sebagai Villa Estate, Residences, dan sebagainya. Untuk jenis kompleks semacam itu, label "perumahan" terkesan murah dan kurang berkelas. Terjemahan langsung dari riverside apartment adalah rumah susun pinggir kali, tetapi pemilihan istilah yang mana yang dipakai akan sangat menentukan kesan dan pemasaran produk perumahannya. Alasan yang mendorong fenomena tersebut mungkin karena kelas menengah dan atas yang dianggap lebih dekat-atau lebih ingin dan mampu mendekatkan diri dengan dunia luar (dalam hal ini dunia yang berbahasa Inggris).
Tidak hanya sampai di situ, penggunaan bahasa Inggris merambah aktivitas di dalamnya. Di restoran, daftar menu yang disodorkan menggunakan bahasa Inggris. Kalau menyebut menu asing mungkin maklum, bisa jadi tidak ditemukan padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Tetapi, untuk menyebut jenis minuman yang sudah umum dikalangan masyarakat Indonesia pun menggunakan bahasa Inggris. Di restoran, es jeruk dikenal dengan istilah orange juice . Di hotel kelas melati sekalipun, segala fasilitas yang ditawarkan dalam bahasa Inggris, bahkan di pabrik-pabrik yang identik dengan kaum buruh yang kadang berlatar belakang pendidikan rendah. Seorang karyawan rendahan dengan mantap mengatakan, “oh, Pak manajer sedang meeting !” Di lain waktu, seorang karyawan dengan jabatan kepala regu bercerita kepada temannya, “oh, saya lupa, belum menyerahkan daily report” dan “Besok saya mau stocke of name. ” Kata manajer memang serapan dari bahasa Inggris (dari kata manager) yang sudah dibakukan ke dalam bahasa Indonesia, tetapi kata meeting untuk menyebut pertemuan atau rapat, daily report istilah lain dari laporan harian, dan stock of name yang sering dimaknai mengecek barang atau benah-benah gudang, seakan sudah menjadi istilah keseharian di kalangan kaum buruh pabrik.
Mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia
Pada era globalisasi ketika bahasa Inggris sudah memasuki ranah kehidupan manusia Indonesia, mempertahankan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam pergaulan masyarakat merupakan tantangan yang tidak mudah. Tantangan berat tersebut dapat dicermati pada sikap masyarakat Indonesia sendiri, baik masyarakat umum maupun pemerintah akan sejauh manakah kepedulian masyarakat terhadap perkembangan dan penggunaan bahasa Indonesia dalam tataran aktivitas keseharian. Sebuah contoh sederhana akan kurangnya kepedulian dalam berbahasa Indonesia adalah masih banyak masyarakat yang bangga menggunakan bahasa asing dalam percakapan sehari-hari. Penggunaan bahasa tersebut juga dapat ditemukan di label/papan nama tempat usaha dan jasa, seperti hotel, restoran, toko, perumahan, dan sebagainya.
Betapapun laju perkembangan kosakata/istilah dipacu dan sistem/kaidah bahasa dimantapkan serta mutu penggunaannya dalam berbagai bidang ditingkatkan, sebagaimana yang dikemukakan diatas, jika masyarakat pendukungnya tidak mau menggunakan hasil pengembangan kosakata/istilah dan pemantapan sistem/kaidah tersebut, upaya pemacuan laju perkembangan kosakata/istilah ataupun pemantapan sistem kaidah tersebut akan sia-sia.
Oleh karena itu, harus ada upaya menanamkan rasa kecintaan terhadap bahasa nasional itu, antara lain melalui peningkatan mutu kampanye penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar ke seluruh lapisan masyarakat dengan menggunakan metode yang sesuai dengan perkembangan zaman. Kampanye dilakukan di lingkungan kelompok masyarakat yang memiliki pengaruh atau yang berhubungan langsung dengan masyarakat, seperti aparatur pemerintah, anggota DPR, guru/dosen, wartawan (cetak dan elektronik), penulis, dan yang lebih penting dan lebih strategis dikalangan pelajar/mahasiswa.
Pemasyarakatan penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar, selain melalui jalur penyuluhan, dilakukan pula melalui media cetak ataupun elektronik serta media luar ruang, seperti iklan layanan imbauan penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Dalam upaya penyiapan generasi ke depan, penanaman kecintaan terhadap bahasa Indonesia dilakukan melalui perbaikan sistem pengajaran bahasa yang lebih menekankan pada aspek kemampuan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar sehingga mereka memiliki kepekaan terhadap estetika dan etika dalam berbahasa Indonesia. Upaya tersebut tentu harus dibarengi dengan penciptaan calon guru profesional yang memiliki kompetensi mengajar di kelas dengan baik.
Minat penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar tersebut dapat pula dikembangkan melalui penyelenggaraan sayembara menulis, baik menulis kreatif maupun menulis ilmiah. Di kalangan media cetak dan elektronik, melalui Forum Bahasa Media Massa, setiap bulan diadakan diskusi ihwal penggunaan bahasa Indonesia di dalam media cetak ataupun elektronik yang selain diikuti kalangan jurnalistik juga diikuti oleh pakar bahasa.
Upaya meningkatkan martabat penggunaan bahasa Indonesia dilakukan juga melalui pemberian penghargaan terhadap pengguna bahasa terbaik para tokoh pemerintah ataupun tokoh masyarakat. Pengembangan kreativitas dan daya apresiasi terhadap bahasa pada kalangan generasi ke depan melalui penyelenggaraan bengkel-bengkel bahasa dan sastra di sekolah-sekolah dengan menghadirkan para penulis nasional ataupun penulis lokal di sejumlah provinsi di Indonesia. Penyelenggaraan Bulan Bahasa dan Sastra setiap tahun juga sangat diperlukan sebagai upaya mengukuhkan komitmen bangsa yang dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 1928.
Tanggung jawab perkembangan bahasa Indonesia terletak di tangan pemakai bahasa Indonesia sendiri. Baik buruknya, maju mundurnya, dan teratur kacaunya bahasa Indonesia merupakan tanggung jawab setiap orang yang mengaku sebagai warga negara Indonesia yang baik. Setiap warga negara Indonesia harus bersama-sama berperan serta dalam membina dan mengembangkan bahasa Indonesia ke arah yang lebih positif. Usaha-usaha ini antara lain dengan meningkatkan kedisiplinan berbahasa Indonesia pada era globalisasi yang sangat ketat dengan persaingan pada segala sektor kehidupan. Maju bahasa, majulah bangsa. Kacau bahasa, kacau pulalah bangsa. Keadaan ini harus disadari benar oleh setiap warga negara Indonesia sehingga rasa tanggung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia akan tumbuh dengan subur di sanubari setiap pemakai bahasa Indonesia. Rasa cinta terhadap bahasa Indonesia pun akan bertambah besar dan semakin mendalam.
Pada era globalisasi, jati diri bahasa Indonesia merupakan ciri bangsa Indonesia yang perlu terus dipertahankan. Pergaulan antar bangsa memerlukan alat komunikasi yang sederhana, mudah dipahami, dan mampu menyampaikan pikiran yang lengkap. Oleh karena itu, bahasa Indonesia harus terus dibina dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi kebanggaan bagi bangsa Indonesia dalam pergaulan antar bangsa pada era globalisasi. Apabila kebanggaan berbahasa Indonesia dengan jati diri yang ada tidak tertanam di sanubari setiap bangsa Indonesia, bahasa Indonesia akan mati dan ditinggalkan pemakainya karena adanya kekacauan dalam pengungkapan pemikiran. Jika sudah demikian, tidak tertutup kemungkinan bangsa Indonesia akan tertinggal oleh bangsa lain.
Sebuah pepatah asing berbunyi no challenge is to create, by sharing a common understanding we build bridges, by carrying today we invest tomorrow, and by working together we do make a difference. Dalam saduran bebas, pepatah tersebut berarti tiada tantangan yang terlalu besar untuk diatasi dengan menyatukan kesadaran dan pemikiran, membangun jembatan menuju masa depan. Dengan memelihara dan mengelola apa yang dimiliki, dan dengan bekerja dan melangkah bersama, kita mengubah negeri kita menuju masa depan yang dicita-citakan bersama.
No comments:
Post a Comment